SELAMAT DATANG

SELAMAT DATANG DI GUDANG ILMU PERTANIAN DAN LAINNYA

Sabtu, 20 November 2010

kemunduran benih


Benih yang mengalami proses deteriorasi akan menyebabkan turunnya kualitas dan sifat benihjika dibandingkan pada saat benih tersebut mencapai masa fisiologinya.
Turunnya kualitas benih dapat mengakibatkan viabilitas dan vigor benih menjadi rendah yang pada akhirnya akan mengakibatkan tanaman menjadi buruk. Hal ini dapat dilihat pada tanaman di  lahan yang memiliki viabilitas yang tinggi dan hasil panen yang menjadi jelek.
RC. Mabesa (1993) mencirikan proses deteriorasi sebagai berikut :
·         Proses ini merupakan proses yang tidak dapat ditawar, pasti terjadi pada semnua benih. Yang berbeda hanyalah laju deteriorasinya saja.
·         Proses ini merupakan proses yang searah. Benih yang telah mengalami deteriorasi tidak akan kembali ke keberadaan semula, meskipun dengan memberikan perlakuan tertentu padanya.
·         Proses ini pada saat benih telah mencapai masak fisiologis sangat rendah lajunya. Laju deteriorasi benih ini di waktu kemudian berhubungan erat dengan kondisi linkungan dan penanganannya.
·         Laju deteriorasi spesies yang satu dengan yang lain berbeda dan berbeda pula laju deteriorasi varietas-varietas dalan satu spesies.
·         Laju deteriorasi berbeda antara seed lot dalam satu spesies/ varietas dan juga antar individu dalam satu seed lot.
Delouche dan Baskin (1973) menggambarkan proses (sequence) terjadinya deteriorasi dalam benih sebagai berikut :
·         Berkurangnya laju respirasi
·         Benih yang telah mengalami deteriorasi setelah  terjadinya imbibisi mempunyai laju respirasu yang lebih rendah disbanding benih yang belum mengalami deteriorasi. Hal ini disebabkan oleh aktivitas enzim respirasi yang mulai menurun.
·         Peningkatan kandungan asam lemak dalam benih (increase in fatty acid).
Pada benih yang telah mengalami deteriorasi akan meningkat kandungan asam lemaknya
·         Laju perkecambahan rendah (slower germination rate)
Benih yang telah mengalami deteriorasi jika dikecambahkan maka laju perkecambahannya rendah, yang berarti benih membutuhkan waktu yang lebih lama untuk berkecambah.
·         Laju pertumbuhan kecambah lambat (slower rate of growth development). Benih yang telah mengalami deteriorasi setelah berkecambah maka pertumbuhan kecambahnya akan menjadi lambat.
·         Berkurangnya daya tahan menghadapi tekanan lingkungan. Benih atau kecambah dari benih yang telah mengalami deteriorasi memiliki daya tahan yang rendah terhadap penyimpangan kondisi lingkungan.
·         Kecambah tidak mampu muncul di lahan. Kecambah dari ben ih yang telah mengalami deteriorasi seringkali tidak dapat muncul ke permukaan tanah karena kecambah tersebut kekurangan energy untuk tumbuh terus ke permukaan lahan. Hal inilah yang sering menyebabkan adanya perbedaan nilai persentase viabilitas benih di dalam pengujian di laboratorium dengan kenyataan benih/ kecambah yang dapat tumbuh terus di lading. Bagi petani yang penting adalah niali persentase benih/ kecambah yang dapat tumbuh di lahan.
·         Banyak kecambah abnormal. Jika kita mengecambahkan benih yang telah mengalami deteriorasi maka persentase kecambah abnormal akan meningkat yang kemudian menyebabkan persentase viabilitas benih menjadi rendah karena yan akan dihitung hanyalah kecambah normal.
·         Enzim menjadi aktif. Dalam benih yang mengalami deteriorasi aktivitas enzimnya jauh berkurang atau bahkan tidak berfungsi. Hal ini disebabkan terjadinya perombakan/ penguraian enzim yang selanjutnya akan menghambat atau bahkan menyebabkan benih kehilangan kemampuannya untuk berkecambah.
·         Terjadinya kebocoran sel. Benih yang telah mengalami deteriorasi bila mengalami deteriorasi bila mengalami imbibisi akan terjadi kebocoran membrane sel sehingga ada unsure-unsur yang keluara dari benih. Kebocoran ini menyebabkan benih menjadi kekurangan bahan yang dapat dirombak untuk menghasilkan tenaga yang dibutuhkan untuk proses sintesa protein guna pembentukan dan pertumbuhan sel-selnya. Akibatnya, akan banyak ditemukan kecambah abnormal atau bahkan benih yang tidak mampu berkecambah sama sekali.
·         Rentang persyaratan berkecambah menjadi lebih sempurna. Setiap benih memiliki persyaratan agar benih tersebut tetap mampu berkecambah. Pada benih yang telah mengalami deteriorasi, rentang ini menjadi lebih sempit atau seringkali dikatakan bahwa benih tersebut sangat peka terhadap kondisi lingkkungan.
·         Keragaman tinggi. Benih yang telah mengalami deteriorasi jika dikecambahkan/ ditanam di lahan keragamannya akan tinggi (tidak seragam pertumbuhannya).
·         Penurunan hasil panen. Hasil panen akan menurun jika petani dalam ussaha taninya memakai benih yang telah mengalami deteriorasi, terutama karena akibat keragaman tanaman di lahan.
·         Perubahan warna. Benih yang telah mengalami deteriorasi warnanya akan berubah, halmiini biasanya dipakai sebagai salah satu tolak ukur pertama, meskipun kendala yang kita hadapi perubahan ini sangat subyektif.
Proses yang terjadi pada benih yang mengalamiproses deteriorasi menurut JC. Delouche sebagai berikut:
·         Kerusakan membrane pada benih yang menua akan mengakibatkan kerusakan dinding sel sehingga mengakibatkan terjadinya kebocoran jika benih berimbibisi.
·         Proses biosintesis yang tak berimbang
·         Ketidakseimbangan proses biosintesis yang disebabkan proses katabolisme dan anabolisme yang tidak sinkron akan mengganggu proses perkecambahan benih.
·         Laju perkecambahan dan perkembangan kecambah lambat dan tidak seragam. Pada benih yang telah menua juka masih dapat berkecambah maka pertumbuhan/ perkembangan kecambahnya lambat dan tidak merata.
·         Rentan terhadap stress faktor lingkungan. Benih yang telah menua akan sangat peka terhadap perubahan faktor lingkungan pada saat dikecambahkan.
·         Kondisi kecambah jelek. Kecambabh yang dihasilkan kondisinya jelek sekali.
·         Penyimpang morfologis. Kecambah yang terbentuk tidak normal. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya persentase kecambah abnormal.
·         Tidak berkecambah. Benih yang dikecambahkan tidak berkecambah meskipun benih tersebut sebenarnya belu mati.
·         Mati (death). Benih mati dapat diketahui dengan uji tetrazolium.
A.    Tanda-tanda Kemunduran Benih
1.      Gejala Fisiologis
Menurut Toole, Toole dan Gorman (dalam Abdul Baki dan Anderson. 1972), kemunduran benih dapat ditunjukkan oleh gejala fisiologis sebagai betikut: (a) terjadinya perubahan warna benih (b) tertundanya perkecambahan; (c) menurunnya, toleransi terhadap kondisi lingkungan sub optimum selama perkecambahan (d) rendahnya toleransi terhadap kondisi simpan yang kurang sesuai (e) peka terhadap radiasi; (f) menurunnya pertumbuhan kecambah; (g) menurunnya daya berkecambah, dan (h) meningkatnya jumlah kecambah abnormal. Abdul Baki dan Anderson (1972) mengemukakan indikasi biokimia dalam benih yang mengalami kemunduran viabilitas adalah sebagai berikut: (a) perubahan aktivitas enzim (b) perubahan laju respirasi; (c) perubahan di dalam cadangan makanan; (d) perubahan di dalam membran, dan (e) kerusakan kromosom.
Gejala fisiologis dipengaruhi pula oleh:
a.    Aktivitas enzim menurun: dehidrogenase, glutamat dekarboksilase, katalase, peroksidase, fenolase, amilase, sitokrom oksidase.
b.    Respirasi menurun : konsumsi O2 rendah, produksi CO2 rendah, produksi ATP rendah
c.    Bocoran metabolit meningkat: menjadikan nilai daya hantar listrik meningkat dan gula terlarut menigkat
d.   Kandungan Asam Lemak Bebas meningkat:
1)   Lipid: asam lemak + gliserol
2)   Benih kapas dengan kandungan Asam Lemak Bebas ≥1% sudah tidak mampu berkecambah.


2.      Gejala Kinerja Benih
a.    kinerja perkecambahan rendah: KT rendah, dan tidak seragam
b.    Daya suai terhadap lingkungan rendah
c.    Daya tumbuh di lapang rendah
d.   Tidak tahan terhadap cekaman lingkungan
3.      Pemudaran Warna kibat penuaan
Kemunduran warna akibat penuaan yaitu warna benih mencoklat (terutama bila terdedah pada cahaya) pada embrio atau pada kulit benih.
B.     Kemungkinan Penyebab Kemunduran Benih
1.      Autoxidasi Lipid: dapat terjadi pada benih:
a.    KA < 6%
b.    Konsentrasi O2 tinggi
c.    Suhu tinggi
Proses:
Lemak tak jenuh + ion2 logam                   radikal bebas (H3+) +  cahaya/irradiasi
Radikal bebas + O2             Hidroperoksida (H2O2)
Hidroperoksida                    Karbonil
Karbonil + protein                - inaktivasi enzim
                                                              - kerusakan membran
                                                              - denaturasi protein
Karbonil + asam nukleat                 mutasi kromosom
2.      Degradasi Struktur Fungsional
a.    Hilangnya permeabilitas membran sel (terhidrolisis oleh fosfolipase dan oksidase)
b.    Rusaknya membran mitokondria (ATP-ase tinggi, fosforilasi oksidatif rendah, produksi ATP tinggi).
3.      Ribosom tidak mampu berdisosiasi: sintesis protein terhambat
4.      Degradasi dan Inaktivasi Enzim: perubahan struktur makromolekul enzim menurunkan aktivitasnya.
a.    Perubahan komposisi :  - grup fungsional (hilang/mengikat)
                                                      - oksidasi gugus sulfhidril
                                                      - perubahan asam amino dalam protein
b.    Perubahan konfigurasi: - penglipatan atau pelurusan
                                                      - penggumpalan atau polimerisasi
                                                      - pemutusan menjadi sub2 unit
5.      Pengaktifan/Pembentukan Enzim-enzim Hidrolitik:
Bila KA benih > 20%, cukup untuk mengaktifkan enzim2 hidrolotik (lipase, fosfolipase, fosfatase, amilase)
6.      Degradasi Genetik sebagai penyebab utama ketuaan
7.      perubahan sifat kromosom (selaras dengan penuaan)
a.    mutasi genetik; berkorelasi dengan ketuaan dan hilangnya viabilitas
8.      Habisnya cadangan makanan (sudah tidak diterima)
9.      Kelaparan sel meristematik: jauhnya jarak antara cadangan makanan dengan sel-sel meritematik
10.  Akumulasi senyawa beracun (toxic)
a.    embrio baik pada endosperm tua
b.    embrio tua pada endosperm baik
Keduanya : menunjukkan vigor dan perkecambahannya buruk
C.    Pengendalian Kemunduran Benih
Dalam kegiatan pertanian, terjadinya kemunduran benih merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya produktivitas tanaman sehingga hal ini hanrus dihindari. Hasil-hasil penelitian menunjukkan dengan memberikan perlakuan pada benih yang memperlihatkan gejala kemunduran, dapat memperbaiki kondisi benih.
Murray dan Wilson (1987) melaporkan kemunduran benih dapat dikendalikan dengan cara "invigorasi" melalui proses hidrasi-dehidrasi. Sadjad (1994) mendefinisikan invigorasi sebagai proses bertambahnya vigor benih. Dengan demikian perlakuan invigorasi adalah peningkatan vigor benih dengan memberikan perlakuan pada benih. Menurut Khan (1992) perlakuan pada benih adalah untuk memobilisasi sumber-sumber energi yang ada dalam benih untuk bekerja sama dengan sumber-sumber energi yang ada di luar atau di lingkungan tumbuh untuk menghasilkan pertanaman dan hasil yang maksimal.
Perlakuan benih yang telah dikenal antara lain presoaking dan conditioning. Menurut Khan (1992) presoaking adalah perendaman benih dalam sejumlah air pada suhu rendah sampai sedang, sedangkan conditioning adalah peningkatan mutu fisiologi dan biokimia (berhubungan dengan kecepatan dan perkecambahan, perbaikan serta peningkatan potensial perkecambahan) dalam benih oleh media imbibisi potensial air yang rendah (larutan atau media padatan lembab) dengan mengatur hidrasi dan penghentian perkecambahan. Benih menyerap air sampai potensial air dalam benih dan media pengimbibisi sama (dicapai keseimbangan potensial air). Presoaking dalam periode singkat menghasilkan efek yang cukup baik terhadap peningkatan perkecambahan dan pertumbuhan kecambah. Pengeringan tidak mengurangi pengaruh positif dari presoaking (Kidd and West dalam Khan, 1992). Perlakuan presoaking berpengaruh baik pada benih yang bervigor sedang.
Hadiana (1996) melaporkan perlakuan presoaking atau conditioning secara nyata efektif meningkatkan viabilitas dan vigor benih sebelum penyimpanan, dapat meningkatkan daya berkecambah potensi tumbuh, keserempakan tumbuh, dan bobot kering kecambah normal.
Benih bermutu merupakan salah satu faktor yang memegang peranan penting dalam budidaya tanaman cabai. Suplai benih untuk musim tanam berikutnya, mengharuskan terjadinya proses penyimpanan benih. Apabila penyimpanan tidak ditangani dengan baik, maka benih akan mudah mengalami kemunduran sehingga mutunya menjadi rendah. Disamping itu, perkecambahan cabai lambat dan tidak seragam. Ilyas (1994) menyatakan bahwa benih cabai memerlukan imbibisi yang lama sebelum berkecambah dan suhu yang agak tinggi untuk mencapai perkecambahan maksimum.
Menurut Khan et al. (1992), imbibisi pada benih yang dilakukan secara tiba-tiba apalagi terhadap benih dengan kadar air sangat rendah dan benih yang mengalami penyimpanan yang lama dapat menyebabkan kerusakan pada struktur membran sehingga perlu suatu kondisi dimana imbibisi dilaksanakan secara terkontrol. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan invigorasi benih yaitu dengan cara mengkondisikan benih sedemikian rupa sehingga karakter fisiologi dan biokimiawi yang terdapat di dalam benih dapat dimanfaatkan secara optimal.
Perlakuan benih secara fisiologis untuk memperbaiki perkecambahan benih melalui imbibisi air secara terkontrol telah menjadi dasar dalam invigorasi  benih. Saat ini perlakuan invigorasi merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi mutu benih yang rendah yaitu dengan cara memperlakukan benih sebelum tanam untuk mengaktifkan kegiatan metabolisme benih sehingga benih siap memasuki fase perkecambahan. Selama proses invigorasi, terjadi peningkatan kecepatan dan keserempakan perkecambahan serta mengurangi tekanan lingkungan yang kurang menguntungkan. Invigorasi dimulai saat benih berhidrasi pada medium imbibisi yang berpotensial air rendah. Biasanya dilakukan pada suhu 15-20oC. Setelah keseimbangan air tercapai selanjutnya kandungan air dalam benih dipertahankan (Khan, 1992)
Berbagai cara dapat dilakukan sehubungan dengan perlakuan invigorasi benih sebelum tanam yaitu osmoconditioning, priming, moisturizing, hardening, humidification, solid matrix priming, matriconditioning dan hydropriming. Namun demikian cara yang umum digunakan adalah osmoconditioning (conditiong dengan menggunakan larutan osmotik seperti PEG, KNO3, KH2PO4, NaCl dan manitol) dan matriconditioning (conditioning dengan menggunakan media padat lembap, seperti Micro-Cel E, Vermikulit, juga telah dipelajari beberapa media alternatif antara lain abu gosok dan serbuk gergaji).
Benih yang dipanen lewat masak fisiologis biasanya sudah mengalami penurunan mutu. Untuk mengatasi permasalahan terjadinya kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun diakibatkan oleh faktor kesalahan dalam penanganan benih, salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan teknik invigorasi (perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki vigor benih). Perlakuan ini sudah banyak dilakukan pada beberapa tanaman seperti tanaman padi dan kedelai. Pada tanaman jambu mete perlakuan invigorasi dapat meningkatkan daya berkecambah, kecepatan tumbuh dan berat kering benih jambu mete.
Untuk mengatasi permasalahan terjadinya kemunduran mutu benih baik yang diakibatkan oleh faktor penyimpanan maupun diakibatkan oleh faktor kesalahan dalam penanganan be-nih, dapat dilakukan dengan melakukan teknik “invigorasi”. Invigorasi adalah suatu perlakuan fisik atau kimia untuk meningkatkan atau memperbaiki vigor benih yang telah mengalami kemun-duran mutu (Basu dan Rudrapal, 1982).( dari berbagai sumber...... )